Judul : Surat Eyangti
Penulis : Sita R Saputra
Penerbit : PT Litera Media Tama
Tahun terbit : 2023
Buku Surat Eyangti berawal dari seorang cucu yang menemukan buku catatan Eyangtinya. Di dalam buku itu, Eyangti menceritakan keinginannya Ketika masih kecil. Kisah tersebut dimulai dari Eyangti berusia 10 tahun pada tanggal 17 Agustus 1942. Pada waktu itu masih dalam masa penjajahan dan Eyangti bersekolah di bawah pemerintahan Nippon yang menggantikan Hindia Belanda. Pada hari Sabtu, sekolah menetapkan kegiatan kinrohosi (kegiatan bercocok tanam atau mencari keong di sawah). Eyangti juga menyebutkan bahwa pemerintahan Nippon lebih pelit daripada pemerintahan Hindia Belanda.
Ketika berusia 10 tahun Eyangti mempunyai 3 kakak dan 3 adik perempuan serta satu adik yang akan lahir. Hidup dengan banyak saudara membuat Eyangti harus menghadapi berbagai perasaan seperti kesal, senang, dan cemburu. Pada ulang tahun Eyangti yang ke 10 beliau berharap mendapatkan hadiah ulang tahun berupa baju baru, makanan buatan ibu (bitterballen), tamasya bersama keluarga, dan makan malam Bersama. Sayangnya, semua harapan itu tidak ada satupun terwujud karena berbagai alasan.
Ulang tahun ke-11 dan ke-12, Eyangti masih merasa kesal karena keinginanya tidak terpenuhi. Namun, di ulang tahun ke-13, walaupun tidak sempat dirayakan, hari itu bertepatan dengan hari kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, dan warga merayakannya dengan gembira. Di ulang tahun ke-14, yang juga merupakan ulang tahun yang pertama RI, Eyangti bercita-cita menjadi guru.
Pada ulang tahun ke-15, setelah upacara bendera Eyangti merasa bosan dan berharap bisa melanjutkan sekolah ke SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Di ulang tahun ke-16, Eyangti sibuk dengan banyak tugas. Saat ulang tahun ke-17, orang tua Eyangti bertanya ingin hadiah apa, Eyangti bilang ingin dibelikan sepatu pantofel untuk masuk SPG. Di ulang tahun ke-18 Eyangti merantau ke Wonosobo untuk sekolah di SPG dan hal itu ternyata menyenangkan.
Pada ulang tahun ke-19, Eyangti tidak mengiginkan apa-apa selain berharap semuanya baik-baik saja. Di ulang tahun ke-20, Eyangti merasa penuh Syukur atas bertambahnya usia dan kemerdekaan Indonesia. Tahun ini, Eyangti yang sudah menjadi guru mendapat tugas mengawal siswa-siswi untuk upacara kemerdekaan meskipun di hari Minggu. Eyangti juga menerima kartu ucapan Mas Darso, teman istimewanya.
Pada ulang tahun ke-21, Eyangti merasa senang karena bisa jalan-jalan bersama teman-temannya setelah upacara bendera. Orang tua Eyangti juga mengirim surat ucapan ulang tahun, begitu juga Mas Darso. Di ulang tahun ke-22, Eyangti bimbang karena diajak Mas Darso bertemu orang tua Eyangti di Pati dan orang tua Mas Darso di Purworejo, yang berarti Mas Darso ingin melamar Eyangti. Eyangti juga senang mendapat hadiah bunga dari anak-anak didiknya yang terbuat dari kertas lipat.
Pada ulang tahun ke-23, Eyangti sudah menikah dengan Mas Darso pada tanggal 1 Maret 1955 dan sedang mengandung anak pertama. Setelah menikah, suami Eyangti dipindah tugaskan ke Padang Sidempuan, Sumatra Utara, dan Eyangti ikut pindah serta mengajar di sana. Di ulang tahun ke-24, Eyangti sangat senang karena dikaruniai anak laki–laki bernama Budi Setiawan. Pada ulang tahun ke-25, Eyangti dikaruniai anak kedua bernama Hery. Pada usia ini, Eyangti merasa bahagia bisa tetap menjadi guru dan mengurus anak–anaknya.
Di Ulang tahun ke-26, Eyangti merasa gamang karena pindah ke Pati dan beliau merasa senang bisa dekat dengan orang tua. Namun, beberapa bulan kemudian, Eyangti bersedih karena anak keduanya, Hery, meninggal dunia karena diare yang hebat. Di ulang tahun ke-27, Eyangti hamil anak ke 3 dan pindah ke Semarang. Pada ulang tahun ke-28, lahirlah anak ketiga bernama Coki Raharja. Tahun-tahun selanjutnya, lahir anak kempat bernama Joko Cahyono, anak kelima bernama Diana Puspita Dewi (yang meninggal di usia 5 bulan), anak keenam bernama Jodi, anak ketujuh bernama Ari, dan anak kedelapan bernama Heru Santosa. Eyangti merupakan ibu yang tangguh dan penuh kasih sayang. Walaupun hidup di masa penjajahan, Eyangti tetap bermimpi karena mimpi itu gratis dan semua orang berhak bermimpi.
Suami Eyangti meninggal pada tahun 1986. Meskipun sangat sedih dan terpukul, Eyangti tetap tangguh menjalani hidup bersama anak–anak, menantu, dan cucu hingga mereka sukses. Eyangti berusia hingga 90 tahun dengan penuh kebahagiaan dan keberhasilan. (Umi Lestari)